14. Koordinasi Antarinstansi
Salah satu hambatan untuk menjalankan program-program
pemerintah dewasa ini adalah kurangnya koordinasi antarinstansi. Koordinasi
lemah dalam tataran horizontal antardepartemen maupun dalam tataran vertikal
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota.
Pengalaman pada masa pemerintahan Soeharto, koordinasi
antarinstansi tidak menjadi permasalahan yang mengganggu. Dengan keotoriteran,
ketakutan para pejabat akan kehilangan kepercayaan dari atasan, dan para
individu yang secara psikologis pernah menjadi bawahan Soeharto, dapat
dipastikan kebijakan berjalan.
Bahkan Soeharto dapat mendelegasikan kewenangannya kepada
menteri koordinator (menko) secara efektif. Bagi para menteri di bawah
koordinasi menko, berhadapan dengan menko seolah berhadapan dengan presiden.
Ketika itu peran menko memang sangat disegani. Menko merupakan kepanjangan
tangan presiden untuk melakukan koordinasi pada sektor ekonomi, politik dan
keamanan serta kesejahteraan sosial. Setelah Soeharto lengser, wibawa menko
semakin hari semakin tidak berarti.
Para menteri kerap tidak hadir dalam rapat-rapat yang
diselenggarakan oleh kantor menko meski menko secara pribadi hadir. Para deputi
di kantor menko pun kewalahan dalam memainkan fungsinya sebagai koordinator.
Hal ini mengingat para pejabat eselon satu dari departemen atau kantor menteri
negara kerap mangkir dalam rapat koordinasi. Menteri dan pejabat eselon satu
akan mengutus pejabat eselon yang rendah dengan kewenangan yang sangat
terbatas.
Kewenangan yang dimiliki terkadang hanya untuk mencatat dan
mengikuti jalannya rapat.Para pejabat yang menghadiri rapat sama sekali tidak
diberi kewenangan untuk memutus. Padahal, banyak isu yang bersinggungan
antardepartemen atau instansi yang harus diselaraskan. Akibatnya, koordinasi
yang diharapkan dan peredaman ego sektoral pun tidak terjadi. Ini tentu akan
berkonsekuensi pada beban tugas presiden dan terhambatnya implementasi
kebijakan dan program.
Salah satu penyebab kurangnya koordinasi adalah peraturan
perundang-undangan yang saling bertentangan. Banyaknya peraturan
perundang-undangan yang saling tumpang tindih juga disebabkan karena kurangnya
koordinasi antarinstansi pengusul dengan instansi lainnya. Sebagai contoh
berdasarkan Undang-Undang (UU) Keuangan Negara, menteri keuangan memiliki
kewenangan menandatangani pinjaman luar negeri.
Sementara berdasarkan UU Perjanjian Internasional, menteri
luar negeri memiliki kewenangan untuk menandatangani semua perjanjian
internasional. Para pejabat di dua instansi kerap saling adu argumen tentang
siapa yang paling berhak menandatangani perjanjian pinjaman luar negeri yang
merupakan bagian dari perjanjian internasional. Selanjutnya koordinasi
antarinstansi yang lemah juga terjadi pada instansi vertikal. Koordinasi yang
lemah mewarnai hubungan antara departemen dengan pemerintah daerah provinsi.
Salah satu penyebab lemahnya koordinasi karena gubernur,
bupati, dan wali kota dipilih secara langsung oleh masyarakatnya. Pada masa
pemerintahan Soeharto, koordinasi yang lemah antarinstansi secara vertikal
boleh disebut tidak terjadi. Saat itu individu yang menduduki jabatan gubernur,
bupati,serta wali kota ditentukan oleh pemerintah pusat. Kalaupun ada ruang
bagi publik, ruang itu diberikan saat dewan perwakilan rakyat daerah mengajukan
tiga nama.
Dewasa ini koordinasi lemah secara vertikal karena gubernur,
bupati, serta wali kota tidak lagi ditentukan dari pusat. Melalui proses
demokrasi, rakyat pemilihlah yang menentukan. Mereka yang menduduki jabatan
presiden, gubernur, bupati, dan wali kota bisa berasal dari partai yang
berbeda. Chain of command untuk mengimplementasi kebijakan kerap terkendala.
Kerap terjadi kondisi di mana kepala daerah harus mendahulukan kepentingan
rakyat pemilihnya daripada kepentingan pemerintah pusat. Apalagi bila ada
kebijakan yang saling bertentangan.
Bahkan instruksi partai akan lebih dikedepankan daripada
instruksi pemerintah pusat. Ini karena apa yang ditafsirkan sebagai amanah,
mandat rakyat, serta janji kampanye bisa berbeda dengan garis kebijakan yang
diambil oleh pemerintah pusat dalam tataran yang paling konkret. Di level
daerah pun koordinasi lemah.Koordinasi antara gubernur dan bupati atau wali
kota lemah, kecuali di Provinsi DKI Jakarta. Gubernur pun tidak lagi berperan
sebagai pemimpin yang menentukan, tetapi hanya sebagai koordinator para bupati
atau wali kota.
Konsekuensi
Lemahnya koordinasi antarinstansi telah menjadi salah satu
faktor yang menghambat program-program yang dicanangkan. Janji kampanye yang
dirumuskan dalam kebijakan ketika calon terpilih menjadi presiden dan wakil
presiden bisa tidak dirasakan oleh masyarakat. Bahkan lemahnya koordinasi
antarinstansi telah menjadi penyebab utama bagi ketidakpastian kebijakan.
Salah satu yang terimbas adalah para pelaku usaha. Mereka
kerap harus menanggung konsekuensi dari lemahnya koordinasi antarinstansi
pemerintah. Bahkan kerap pelaku usaha yang "dipermasalahkan" oleh
instansi lain dan bukannya instansi yang membuat kebijakan awal. Tentu ini akan
berakibat pada kondisi yang tidak kondusif bagi iklim berusaha di Indonesia.
Walau demikian harus disadari, lemahnya koordinasi kerap
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, seperti pelaku usaha
dan pemerintah asing. Pelaku usaha dan pemerintah asing, dengan menggunakan
uang dan pengaruhnya, dapat "mengadu domba" instansi pemerintah
ketika ada kepentingan yang diinginkan. Dalam konteks demikian, secara tidak
sadar politik divide et impera terulang kembali di era Indonesia merdeka.
Strategi
Dalam waktu dekat rakyat akan memilih presiden dan wakil
presiden. Pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres)
pun saat ini sedang gencar menawarkan program-programnya. Dalam konteks
demikian, publik tentu ingin mendengar strategi apa yang akan dilakukan oleh
pasangan capres dan cawapres agar koordinasi antarinstansi menjadi kuat.
Ini penting agar program yang telah dicanangkan di segala
sektor oleh para calon benar-benar dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian
bila janji atau program gagal tidak terwujud maka tidak akan mudah menyalahkan
lemahnya koordinasi. Koordinasi antarinstansi harus diakui telah menjadi
kebutuhan penting untuk menjalankan pemerintahan yang efektif di tengahtengah
demokrasi liar tanpa aturan.(*)
Sumber : http://news.okezone.com/read/2009/05/28/58/223811/koordinasi-antarinstansi
0 comments:
Post a Comment