20. PENGEMBANGAN
ORGANISASI PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH
1.
Pendahuluan
Kondisi geografis, etnis, sosial, dan budaya Indonesia yang beraneka ragam
secara objektif menjadi faktor pendorong utama perlunya penataan sistem
dan layanan pendidikan yang lebih demokratis sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat bersangkutan. Untuk dapat menghasilkan pendidikan yang lebih bermutu
di tengah-tengah masyarakat yang pluralistik, maka wewenang manajemen
pendidikan nasional tidak cukup hanya dimiliki oleh pemerintah, lebih-lebih
pemerintah pusat yang selama ini lebih banyak mendominasi khususnya bidang
manajemen pendidikan. Seluruh komponen sumber daya yang ada di masyarakat
seyogianya mendapatkan peluang yang sama untuk mengatur penyelenggaraan sistem
pendidikan secara mandiri demi terselenggaranya suatu sistem pendidikan yang
berkualitas. Hal ini mendorong perlunya penataan kembali manajemen pendidikan
dari yang bersifat sentralistik ke otonomi luas secara bertahap.
Secara ideal paradigma baru pendidikan tersebut mestinya mewarnai kebijakan
pendidikan baik kebijakan pendidikan yang bersifat substantif maupun implementatif. Azra (2002) mengemukakan bahwa dengan era
otonomi daerah lembaga pendidikan yang terintegrasi dalam pendidikan nasional
haruslah melakukan reorientasi, rekonstruksi kritis, restrukturisasi, dan
reposisi, serta berusaha untuk menerapkan paradigma baru pendidikan nasional.
Selain itu, implementasi kebijakan tersebut diharapkan berdampak positif
terhadap kemajuan pendidikan di daerah dan di tingkat satuan pendidikan.
Adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah maka
pengkajian terkait dengan kesiapan penyelenggaraan aspek manajemen pendidikan
di daerah perlu dilakukan. Konsep otonomi menurut Greenberg dan Baron
(1995:585) adalah suatu tindakan desentralisasi yang dilakukan oleh organisasi
atau departemen yang lebih tinggi, dalam arti merupakan proses pendelegasian
atau pelimpahan kekuasaan dari pimpinan atau atasan ke tingkat bawahan dalam
organisasi. Dalam bidang pendidikan, konsep tersebut dengan demikian diartikan
sebagai upaya pelimpahan wewenang penyelenggaraan pendidikan kepada daerah,
dari Departemen Pendidikan Nasional ke daerah baik provinsi, kota, dan
kabupaten.
Otonomi daerah berimplikasi langsung bagi manajemen pendidikan yaitu
desentralisasi pendidikan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah pasal 1 menyatakan desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara
itu Huda (1998:4) mengartikan desentralisasi sebagai delegations of responsibilities and powers to authorities at the lower
levels. Desentralisasi merupakan pendelegasian tanggung jawab dan kekuasaan dari
atasan kepada bawahan.
2.
Konsep Otonomi Daerah
Otonomi secara etimologi dari bahasa latin autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti aturan.
Dengan demikian otonomi berarti mempunyai peraturan sendiri atau mempunyai hak,
kekuasaan, kewenangan untuk membuat peraturan sendiri. Kemudian arti ini
berkembang menjadi pemerintahan sendiri. Pemerintahan sendiri ini meliputi
pengaturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam
batas-batas tertentu (Kaho, 1991:14). Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan
diurus tersebut meliputi kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat
kepada daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat. Kaho (1991:15-17) menyebutkan berbagai teknik untuk
menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana yang
merupakan wewenang pemerintah daerah, yaitu a) sistem residu, b) sistem
material, c) sistem formal, d) sistem otonomi riil, dan e) prinsip otonomi yang
nyata, dinamis, dan bertanggung jawab.
Sistem residu, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang
menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah
tangga daerah. Kebaikannya terutama terletak pada saat timbulnya
keperluan-keperluan baru, pemerintah daerah dapat dengan cepat mengambil
keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari pusat.
Sebaliknya, sistem ini dapat pula menimbulkan kesulitan
mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam
berbagai lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang dirumuskan
secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi daerah yang kemampuannya
terbatas.
Sistem material, tugas pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara
limitatif atau terinci. Di luar tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan
pemerintah pusat. Kelemahannya, sistem ini kurang fleksibel karena setiap
perubahan tugas dan wewenang daerah harus dilakukannya melalui prosedur yang
lama dan berbelit-belit. Akibatnya, menghambat kemajuan daerah, karena mereka
harus menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu
urusan menjadi terbengkelai, tidak diurus oleh pemerintah pusat dan tidak pula
oleh pemerintah daerah. Sedangkan dalam sistem formal, daerah boleh mengatur
dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal saja
tidak mencakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat atau
pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan kata lain, urusan
rumah tangga daerah dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya.
Sistem otonomi riil, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada
daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan
kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta
wewenang ini didasarkan pada keadaan riil di dalam masyarakat, maka kemungkinan
yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas atau urusan yang selama ini menjadi
wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah dengan
melihat kepada kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri.
Sebaliknya, tugas yang kini menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika,
bilamana dipandang perlu dapat diserahkan kembali kepada pemerintah pusat atau
ditarik kembali dari daerah.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
disebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi
seluas-luasnya, nyata, dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi seluas-luasnya
adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran
serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan
pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang
senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi
setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud
dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi
yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan
nasional.
Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu
berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu
memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain
itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan
antara daerah dan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerja sama antardaerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan
mencegah ketimpangan antara daerah. Hal yang penting juga adalah bahwa otonomi
daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antardaerah dengan
pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara
dan tetap tegaknya negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan
tujuan negara.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak
dicapai,pemerintah melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti
dalam penelitian, pengembangan, perencanaan, dan pengawasan. Di samping juga
memberikan standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian,
koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan dengan itu, pemerintah memberikan
fasilitasi berupa pemberian peluang, kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada
daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan
efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3.
Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Manajemen
Pendidikan
Otonomi daerah berimplikasi langsung bagi manajemen pendidikan yaitu
desentralisasi pendidikan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah pasal 1 menyatakan desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara
itu Huda (1998:4) mengartikan desentralisasi sebagai delegations of responsibilities and powers to authorities at the lower
levels. Desentralisasi merupakan pendelegasian tanggung jawab dan kekuasaan dari
atasan kepada bawahan.
Implikasi otonomi daerah terhadap manajemen pendidikan diuraikan dalam
kajian konsep desentralisasi pendidikan, model desentralisasi pendidikan, dan
paradigma baru pendidikan.
1.
Konsep Desentralisasi Pendidikan
Merujuk pada konsep otonomi daerah pada hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat, maka bentuknya adalah desentralisasi. Secara etimologis,
istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin “de”, artinya lepas dan
“centrum”, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari
pusat.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Bab I pasal 1
disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu
Huda (1998:4) mengartikan desentralisasi sebagaidelegations of
responsibilities and powers to authorities at the lower levels.
Desentralisasi merupakan pendelegasian tanggung jawab dan kekuasaan dari atasan
kepada bawahan.
Secara konseptual, penerapan asas desentralisasi didasari oleh keinginan
menyiptakan demokrasi, pemerataan, dan efisiensi. Diasumsikan bahwa
desentralisasi akan menyiptakan demokrasi melalui partisipasi masyarakat lokal.
Dengan sistem yang demokratis ini diharapkan akan mendorong tercapainya
pemerataan pembangunan terutama di daerah pedesaan dimana sebagian besar
masyarakat tinggal. Sedangkan efisiensi dapat meningkat karena jarak antara
pemerintah lokal dengan masyarakat menjadi lebih dekat, penggunaan sumber daya
digunakan saat dibutuhkan, dan masalah diidentifikasi oleh masyarakat lokal
sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk mendukung pemerintah lokal.
Kotter (1997) menyatakan bahwa lembaga yang terdesentralisasi memiliki
beberapa keunggulan, yaitu 1) lebih fleksibel, dapat memberikan respons dengan
cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan yang selalu berubah, 2) lebih efektif,
3) lebih inovatif, dan 4) menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih
komitmen dan lebih produktif. Desentralisasi bukan saja memperbaiki kualitas
keputusan tetapi juga kualitas pengambilan keputusan. Dengan desentralisasi,
pengambilan keputusan lebih cepat, lebih luwes, dan konstruktif.
Menurut Husen dan Postlethwaite (1994:1407) bidang
pendidikan perlu adanya desentralisasi karena 1) the improvement of
schools, 2) the belief that local participation is a
logical form of governance in a democracy, dan 3) in relation to
fundamental values of liberty, equality, fraternity, efficiency, and economic
growth. Desentralisasi bidang pendidikan dilakukan untuk perbaikan sekolah,
keyakinan partisipasi daerah merupakan bentuk logis dalam demokrasi, dan
berhubungan dengan nilai kebebasan yang fundamental, persamaan, persaudaraan,
efisiensi, dan pertumbuhan ekonomi.
Desentralisasi pendidikan dimaksudkan untuk mencapai efisiensi pendidikan
dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat lokal. Huda (1998:3-5) merinci alasan
pertanggungjawaban implementasi desentralisasi dalam pendidikan, yaitu:
1.
Secara politik desentralisasi adalah cara mendemokratiskan manajemen
urusan-urusan publik (politically decentralization is a way of democratizing
the management of public affairs). Di bawah skema desentralisasi,
pertanggungjawaban pendidikan tertentu diberikan kepada pemerintah daerah.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mengawasi perencanaan dan pelaksanaan
pendidikan di daerah. Dengan melibatkan wakil rakyat di dalam urusan
pendidikan, diharapkan akan mendukung partisipasi masyarakat yang lebih besar
di dalam pelaksanaan pendidikan dan dalam memecahkan masalah yang berhubungan
dengannya,
2.
Secara teknis adalah sulit untuk mengelola pendidikan secara efisien di
dalam sebuah wilayah yang luas yang berisi banyak pulau (technically it is
difficult to manage education efficiently in a vast area consisting of islands).
Masalah komunikasi dan transportasi antara pemerintah pusat dan daerah,
khususnya pada masa lalu, telah menjadi pertimbangan penting untuk
desentralisasi. Sentralisasi akan membuat sulit untuk memecahkan masalah
perbedaan regional dan untuk mempertemukan kebutuhan dan tuntutan khusus
mereka. Perbedaan budaya dan tingkat perkembangan masing-masing daerah
menyumbang perbedaan dalam kebutuhan dan hakikat pendekatan untuk menyelesaikan
masalah,
3.
Alasan utama desentralisasi pendidikan adalah efisiensi dan efektivitas
dalam menangani masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan pendidikan (efficiency
and effectiveness in handling problems related to the implementation of
education),
4.
Untuk mengurangi beban administrasi yang berlebihan dari
pemerintah pusat (to reduce the overloaded burden of administration of the
central government).
Berdasarkan pendapat di atas disimpulkan alasan rasional
diterapkannya sistem desentralisasi pendidikan adalah 1) faktor politis, untuk
mempertahankan stabilitas dalam rangka memperoleh legitimasi pemerintah pusat
dari masyarakat daerah, sebagai wujud penerapan ideologi sosialis dan
menumbuhkan kehidupan demokrasi, 2) faktor sosio-kultural, yakni untuk
memberdayakan masyarakat lokal, 3) faktor teknis administratif dan pedagogis,
untuk memangkas manajemen lapisan tengah agar dapat membayar gaji guru tepat
waktu atau untuk meningkatkan motivasi guru dalam proses pembelajaran, dan 4)
faktor ekonomis-finansial, meningkatkan sumber daya tambahan untuk pembiayaan
pendidikan dan sebagai alat pembangunan ekonomi.
Alhumani (2000) berpendapat dampak positif dari kebijakan desentralisasi
dalam rangka menyelesaikan permasalahan pendidikan 1) peningkatan mutu, 2)
efisiensi keuangan, 3) relevansi pendidikan, dan 4) perluasan atau pemerataan
pendidikan. Kebijakan desentralisasi pendidikan perlu dilaksanakan secara
seksama dan mandiri agar terjadi integrasi antara tujuan pemerintah pusat dan
daerah. Dengan demikian sekolah memerlukan action plan sebagai panduan dalam menyelenggarakan
pendidikan dalam rangka pencapaian tujuan sekolah.
Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki proses
pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih banyak stakeholders di daerah, untuk menghasilkan integrasi
sekolah dengan masyarakat lokal secara terus menerus, untuk mendekatkan sekolah
dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan akhirnya untuk memperbaiki
motivasi, kehadiran dan pencapaian peserta didik. Selain itu, desentralisasi
tersebut juga dalam rangka memberi kesempatan kepada rakyat atau masyarakat
luas untuk berpartisipasi secara aktif dan kreatif sehingga pendidikan mampu
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas yang akan bermanfaat bagi
pembangunan daerah.
2.
Model Desentralisasi Pendidikan
Tingkat kewenangan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah membawa
konsekuensi pada model pelaksanaannya. William dalam Depdiknas (2001:5)
memerinci desentralisasi ke dalam tiga model, yaitu dekonsentrasi (deconcentration),
delegasi (delegation), dan devolusi (devolution). Dekonsentrasi
adalah model pengalihan tanggung jawab pengelolaan pendidikan dari pemerintah
pusat ke pemerintah yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga lembaga di
pemerintah pusat masih memegang kendali pelaksanaan pendidikan secara penuh.
Model desentralisasi ini seringkali dilaksanakan dengan membentuk lembaga
setingkat direktorat di daerah yang dapat melaksanakan tanggung jawab
pemerintah pusat.
Berbeda dengan itu, dalam model delegasi pemerintah pusat meminjamkan
kekuasaannya pada pemerintah daerah atau kepada organisasi/lembaga semiotonom.
Kekuasaan pemerintah pusat ini tidak diberikan, namun dipinjamkan. Jika
pemerintah memandang perlu, otoritas itu bisa ditarik kembali. Sementara, dalam
model devolusi pemerintah pusat menyerahkan kewenangan dalam seluruh
pelaksanaan pendidikan meliputi pembiayaan, administrasi serta pengelolaan yang
lebih luas. Kewenangan yang diberikan ini lebih permanen dan tidak dapat
ditarik kembali lagi hanya karena tingkah/permintaan pemegang kekuasaan di
pusat.
Ketiga model tersebut berbeda dalam hal tingkat kewenangan yang
disampaikan. Model dekonsentrasi adalah model penyerahan kewenangan yang paling
rendah, model delegasi lebih besar/tinggi, dan model devolusi yang paling
tinggi. Tingkat kewenangan yang dilimpahkan ini juga akan berkonsekuensi lebih
jauh pada pelaksanaannya. Semakin besar kewenangan yang diterima dari
pemerintah pusat, semakin besar sumber daya yang harus
dikeluarkan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dengan demikian, terbuka
bagi penerima kewenangan untuk mencari segala upaya dalam melaksanakan
kewenangan itu, termasuk bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang mereka nilai
membantu dan menguntungkan mereka.
Rondinelli dalam Husen dan Postlethwaite (1994:1412) menambahkan satu
kategori lagi, yaitu privatisasi (privatization), yaitu model penyerahan
kewenangan penyelenggaraan pendidikan kepada pihak swasta. Model ini berbeda
dengan ketiga model William dari segi penerima kewenangan. Menurut
Abdurrahmansyah (2001:61) dalam kasus pembicaraan desentralisasi pendidikan
privatisasi berbentuk pemindahan pelimpahan kewajiban dari urusan pemerintah
menjadi urusan masyarakat.
Sesuai dengan kesiapan daerah yang bersangkutan Huda (1999) mengemukakan
model otonomi pendidikan yang dapat diterapkan yaitu 1) site based management, sebagai upaya melibatkan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah, 2) pengurangan administrasi pusat, dan
3) inovasi kurikulum. Model manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan
meletakkan urusan penyelenggaraan pendidikan pada sekolah. Model pengurangan
administrasi pusat merupakan konsekuensi model pertama, yang diikuti dengan
peningkatan kewenangan pada masing-masing sekolah. Sedangkan inovasi kurikulum
lebih menekankan upaya peningkatan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta
didik, dan didasarkan pada kebutuhan peserta didik dan masyarakat setempat yang
bersifat majemuk.
Burhanuddin (2004:13) berpendapat di dalam model site based management para anggota tertentu dapat
berkonsentrasi secara konstruktif dalam pengambilan Keputusan penting yang
berpengaruh terhadap penyelenggaraan suatu sekolah. Model site based management bertujuan untuk meningkatkan otonomi
sekolah dan memberikan kesempatan kepada guru, orang tua, peserta didik, dan
masyarakat dalam pembuatan keputusan.
3.
Paradigma Baru Pendidikan
Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran arah paradigma
pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, meliputi berbagai aspek
mendasar yang saling berkaitan, yaitu 1) dari sentralistik menjadi desentralistik,
2) dari kebijakan yang top down ke kebijakan yangbottom up, 3) dari orientasi pengembangan parsial
menjadi orientasi pengembangan holistik, 4) dari peran pemerintah sangat
dominan ke meningkatnya peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif,
dan 5) dari lemahnya peran institusi nonsekolah ke pemberdayaan institusi
masyarakat, baik keluarga, pesantren, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun
dunia usaha (Jalal, 2001:5).
Sementara itu Depdiknas (2002:10) menyatakan tiga
paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu 1) dari birokrasi berlebihan ke
debirokratisasi, 2) dari manajemen tertutup (closed management) ke
manajemen terbuka (open management), dan 3) pengembangan pendidikan,
termasuk biayanya, terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah berubah ke
sebagian besar menjadi tanggung jawab orangtua siswa dan masyarakat (stakeholders).
Berdasarkan kajian tersebut maka dapat diuraikan wujud pergeseran paradigma
pendidikan tersebut meliputi:
1.
Dari sentralisasi ke desentralisasi pendidikan
Sebelum otonomi, pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh
kebijakan pendidikan dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Depdiknas). Pemerintah daerah
sampai sekolah harus mengikuti dan taat terhadap kebijakan yang seragam secara
nasional, dan petunjuk pelaksanaannya.
Pemerintah daerah dan sekolah tidak diperkenankan merubah,
menambah dan mengurangi yang sudah ditetapkan oleh departemen, sekalipun tidak
sesuai dengan kondisi, potensi, kebutuhan sekolah, dan masyarakat di daerah.
Era reformasi, paradigma sentralistik berubah ke desentralistik. Desentralistik
dalam arti pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari Depdiknas ke
Dinas Pendidikan Propinsi, dan sebagian lainnya kepada Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, bahkan juga kepada sekolah-sekolah. Pada perguruan tinggi
negeri/swasta dilimpahkan kepada rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga
pada jurusan/program studi.
Desentralisasi manajemen pendidikan berdampak Dinas
Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sebagai perangkat pemerintah kabupaten/kota
yang otonom, dapat membuat kebijakan pendidikan, masing-masing sesuai wewenang
yang dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten/kota dalam bidang pendidikan.
Bahkan dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat kabupaten/kota, setiap sekolah
juga diberi peluang untuk membuat kebijakan sekolah (school policy)
masing-masing atas dasar konsep manajemen berbasis sekolah dan pendidikan
berbasis masyarakat. Dengan demikian, sebagian perubahan dan kemajuan
pendidikan tingkat kabupaten/kota sangat bergantung pada kemampuan
mengembangkan kebijakan pendidikan dari masing-masing Kepala Dinas Pendidikan
tingkat Kabupaten/Kota.
Desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, dilaksanakan sejalan dengan
proses demokratisasi, sebagai proses distribusi tugas dan tanggung jawab dari
Depdiknas sampai di unit-unit satuan pendidikan. Iklim dan suasana serta
mekanisme demokratis bertumbuh dan berkembang pada seluruh tingkat dan jalur
pengelolaan pendidikan, termasuk di sekolah-sekolah dan di kelas-kelas ruang
belajar.
2.
Dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up
Sebelum otonomi, pendekatan pengembangan dan pembinaan pendidikan dilakukan
dengan mekanisme pendekatan dari atas ke bawah (top down approach). Muhadjir
(2003:61) menyatakan kebijakan yang berasal dari atas (top down), di
bawah membantu implementasinya disebut menggunakan paradigma public policy, sedangkan kebijakan yang berasal dari bawah (bottom up), disebut
menggunakan paradigma social policy. Berbagai kebijakan
pengembangan/pembinaan pendidikan hampir seluruhnya ditentukan oleh Depdikbud,
dan dalam hal khusus ditentukan oleh pemerintah daerah, untuk dilaksanakan oleh
seluruh jajaran pelaksana di wilayah, termasuk di sekolah.
Era reformasi, sebagian besar upaya pengembangan pendidikan dilakukan
dengan orientasi pendekatan dari bawah ke atas (bottom up approach).
Pendekatan bottom up harus terjadi dalam pengambilan keputusan di setiap level instansi,
misalnya sekolah, Dinas Kabupaten/Kota, dan yayasan penyelenggara pendidikan.
Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi kepentingan umum, sesuai kondisi,
potensi, dan prospek sekolah, diakomodasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota,
sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Dan hal-hal lainnya yang menjadi
wewenang dan tanggung jawab Dinas Propinsi diselesaikan pada tingkat Depdiknas.
3.
Dari orientasi pengembangan yang parsial ke orientasi
pengembangan yang holistik
Sebelum otonomi, orientasi pengembangan bersifat parsial. Misalnya,
pendidikan lebih ditekankan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan
stabilitas politik dan teknologi perakitan (Jalal, 2001:5). Pendidikan juga
terlalu menekankan segi kognitif, sedangkan segi spiritual, emosional, sosial,
fisik, dan seni kurang mendapatkan tekanan (Suparno dalam Jalal (2001).
Akibatnya anak didik kurang berkembang secara menyeluruh. Dalam pembelajaran
yang ditekankan hanya to know (untuk tahu), sedangkan unsur pendidikan yang lain to do (melakukan),to live together (hidup bersama), dan to be (menjadi) kurang
ditekankan. Kesadaran akan hidup bersama kurang mendapat tekanan, dengan akibat
peserta didik lebih suka mementingkan hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan
dan pengajaran di sekolah kebanyakan terpisah-pisah dan kurang berintegrasi.
Setiap mata pelajaran berdiri sendiri, seakan tidak ada kaitan dengan pelajaran
lain.
Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi pengembangan bersifat
holistik. Pendidikan diarahkan
untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung
tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan
kesadaran hukum (Jalal, 2001:5). Menurut Suparno dalam Jalal (2001), pendidikan
holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang cirinya adalah
keterkaitan (connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses
menjadi (being).
Konsep saling keterkaitan mengungkapkan bahwa saling keterkaitan antara
suatu bagian dari suatu sistem dengan bagian-bagian lain dan dengan
keseluruhannya. Maka tidak mungkin suatu bagian dari suatu sistem lepas sendiri
dari sistem itu dan lepas dari bagian-bagian yang lain. Saling
keterkaitan dapat dijabarkan dalam beberapa konsep berikut, yaitu interdependensi,
interrelasi, partisipasi, dan nonlinier (Hent dalam Jalal (2001)).
Interdependensi adalah saling ketergantungan satu unsur dengan yang lain.
Masing-masing tidak akan menjadi penuh berkembang tanpa yang lain. Ada saling
ketergantungan guru dengan siswa, siswa dengan siswa lain, dan guru dengan guru
lain.
Interelasi dimaksudkan sebagai adanya saling
kaitan, saling berhubungan unsur yang satu dengan yang lain dalam pendidikan.
Ada hubungan pendidik dengan yang dididik, siswa dengan siswa lain, dan pendidik
dengan pendidik lain. Relasi ini bukan hanya relasi berkaitan dengan pengajaran
tetapi juga relasi sebagai manusia (pribadi). Partisipasi dimaksudkan sebagai
keterlibatan, ikut serta dalam sistem itu. Pendidikan secara nyata siswa akan
berkembang bila terlibat, ikut aktif di dalamnya.
Nonlinier menunjukkan bahwa tidak dapat ditentukan secara linier serba
jelas sebelumnya. Ada banyak hal yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya
dalam pendidikan, meski telahditentukan unsur-unsurnya. Guru dapat membantu
peserta didik dengan segala macam nilai yang baik, namun dapat terjadi mereka
berkembang tidak baik. Pendekatan pendidikan yang mekanistis tidak tepat lagi.
Pendidikan tidak dipikirkan lagi secara linier, seakan-akan bila
langkah-langkahnya jelas lalu hasilnya menjadi jelas, tetapi lebih kompleks dan
ada keterbukaan terhadap unsur yang tidak dapat ditentukan sebelumnya.
Prinsip keutuhan menyatakan bahwa keseluruhan adalah lebih besar daripada
penjumlahan bagian-bagiannya. Prinsip keutuhan sangat jelas diwujudkan dengan
memperhatikan semua segi kehidupan dalam membantu perkembangan pribadi siswa
secara menyeluruh dan utuh. Maka, segi intelektual, sosial, emosional,
spiritual, fisik, seni, semua mendapat porsi yang seimbang. Salah satu unsur
tidak lebih tinggi dari yang lain sehingga mengabaikan yang lain. Kurikulum
dibuat lebih menyeluruh dan memasukkan banyak segi. Pendekatan
terhadap siswapun lebih utuh dengan memperhatikan unsur pribadi, lingkungan,
dan budaya. Pembelajaran lebih menggunakan inteligensi ganda, dengan
mengembangkan intelligence qoutient (IQ), spiritual qoutient (SQ), dan emotional qoutient (EQ) secara integral.
Prinsip “proses menjadi” mengungkapkan bahwa
manusia memang terus berkembang menjadi semakin penuh. Dalam proses menjadi
penuh itu unsur partisipasi, keaktifan, tanggung jawab, kreativitas,
pertumbuhan, refleksi, dan kemampuan mengambil keputusan sangat penting. Proses
itu terus menerus dan selalu terbuka terhadap perkembangan baru. Dalam
pendidikan, prinsip kemenjadian ini ditonjolkan dengan pendekatan proses, siswa
diaktifkan untuk mencari, menemukan dan berkembang sesuai dengan keputusan dan
tanggung jawabnya. Dalam proses itu, siswa diajak lebih banyak mengalami
sendiri, berefleksi dan mengambil makna bagi hidupnya. Dalam proses ini siswa
dibantu sungguh menjadi manusia yang utuh, bukan hanya menjadi calon pekerja
atau pengisi lowongan kerja.
4.
Dari peran pemerintah yang dominan ke meningkatnya
peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif
Sebelum otonomi, peran pemerintah sangat dominan. Hampir semua aspek dari
pendidikan diputuskan kebijakan dan perencanaannya di tingkat pusat, sehingga daerah terkondisikan lebih hanya sebagai pelaksana.
Pendidikan dikelola tanpa mengembangkan kemampuan kreativitas masyarakat, malah
cenderung meniadakan partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan pendidikan.
Lembaga pendidikan terisolasi dan tanggung jawab sepenuhnya ada pada
pemerintah pusat. Sedangkan masyarakat tidak mempunyai wewenang untuk
mengontrol jalannya pendidikan. Selain itu, dengan sendirinya orang tua dan
masyarakat, sebagai konstituen dari sistem pendidikan
nasional yang terpenting, telah kehilangan peranannya dan tanggung jawabnya.
Mereka, termasuk peserta didik, telah menjadi korban, yaitu sebagai obyek dari
sistem yang otoriter (Tilaar, 2004).
Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam
pendidikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk
mendorong partisipasi masyarakat, di tingkat kabupaten/kota
dibentuk dewan pendidikan, sedangkan di tingkat sekolah dibentuk komite
sekolah. Pembentukan komite sekolah didasarkan pada Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Panduan Pembentukan Komite
Sekolah.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Panduan
Pembentukan Komite Sekolah menjelaskan bahwa pembentukan komite
sekolah dilakukan secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Transparan
berarti bahwa komite sekolah harus dibentuk secara terbuka dan diketahui oleh
masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, proses
sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi
calon anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian
hasil pemilihan.
Akuntabel berarti bahwa panitia persiapan pembentukan komite sekolah
hendaknya menyampaikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya maupun penggunaan
dan kepanitiaan. Sedangkan secara demokratis berarti bahwa dalam proses
pemilihan anggota dan pengurus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Jika
dipandang perlu, dapat dilakukan melalui pemungutan suara.
5.
Dari lemahnya peran institusi nonsekolah ke
pemberdayaan institusi masyarakat
Sebelum era otonomi, peran institusi nonsekolah sangat lemah. Dalam era
otonomi, masyarakat diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di
dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi
penerus bangsa. Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap,
kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat berperan serta secara aktif dan
bertanggung jawab dalam pendidikan.
Institusi pendidikan tradisional seperti pesantren, keluarga, lembaga adat,
berbagai wadah organisasi pemuda bahkan partai politik bukan hanya diberdayakan
sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik, melainkan
juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan nasional.
Demikian juga, ada upaya peningkatan partisipasi dunia usaha/industri dan
sektor swasta dalam pendidikan karena sebagai pengguna sudah semestinya dunia
usaha juga ikut bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Apabila
lebih banyak institusi kemasyarakatan peduli terhadap pendidikan maka pendidikan
akan lebih mampu menjangkau berbagai kelompok sasaran khusus seperti kelompok
wanita dan peserta didik kurang beruntung (miskin, berkelainan, dan tinggal di
daerah terpencil).
Jalal (2001:72-73) berpendapat dalam upaya pemberdayaan
masyarakat, perlu dilakukan pembenahan sebagai kebijakan dasar, yaitu
pengembangan kesadaran tunggal dalam kemajemukan, pengembangan kebijakan
sosial, pengayaan berkelanjutan (continuous enrichment), dan
pengembangan kebijakan afirmatif (affirmative policy).
6.
Dari birokrasi berlebihan ke debirokratisasi
Sebelum otonomi, berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur dan dikontrol oleh pejabat (birokrat) melalui prosedur dan aturan-aturan
(regulasi) yang ketat, bahkan sebagian sangat ketat dan kaku oleh dinas
pendidikan. Hal ini mempengaruhi pengelolaan sebagian sekolah, dalam iklim
birokrasi berlebihan. Dalam kondisi yang demikian, tidak jarang ditemukan
adanya kasus birokrasi yang berlebihan dari sebagian pejabat birokrat yang
menggunakan kekuasaan berlebihan dalam pembinaan kepala sekolah, guru, siswa.
Keadaan ini telah mematikan prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di
sekolah.
Era reformasi, terjadi proses debirokratisasi dengan jalan memperpendek
jalur birokrasi dalam penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara
profesional, bukan atas dasar kekuasaan atau peraturan belaka. Hal ini sesuai
dengan prinsip profesionalisme dalam pendidikan dan juga pelimpahan wewenang
dan tanggung jawab dalam desentralisasi. Di samping itu juga dilakukan
deregulasi, dalam arti pengurangan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai
dengan kondisi, potensi, dan prospek sekolah, dan kepentingan masyarakat (stakeholders)
untuk berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk gagasan penyempurnaan
kurikulum, peningkatan mutu guru, dana, dan sarana prasarana untuk sekolah.
7.
Dari manajemen tertutup (close management) ke
manajemen terbuka (open management)
Sebelum otonomi, diterapkan bentuk-bentuk manajemen tertutup,
sehingga tidak transparan dan tidak ada akuntabilitas kepada publik dalam
pengelolaan pendidikan. Era reformasi, manajemen pendidikan menerapkan
manajemen terbuka dari pembuatan, pelaksanaan, evaluasi, dan perbaikan
kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan dalam pendidikan
dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh kelompok masyarakat (stakeholders),
dan selanjutnya terbuka untuk menerima kritikan perbaikan bila ditemukan
hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
8.
Dari pengembangan pendidikan terbesar menjadi tanggung
jawab pemerintah berubah ke sebagian besar menjadi tanggung jawab orangtua
siswa dan masyarakat (stakeholders)
Sebelum otonomi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan, terbesar
menjadi tanggung jawab pemerintah, dibandingkan dengan menjadi tanggung jawab orangtua siswa dan masyarakat (stakeholders). Era
reformasi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan pendidikan, berupa gaji
honorarium/tunjangan mengajar, penataran/pelatihan, dan rehabilitasi gedung,
diupayakan supaya sebagian besar akan menjadi tanggung jawab orangtua siswa dan
masyarakat (stakeholders). Kemajuan pendidikan tingkat kabupaten/kota
akan banyak bergantung pada partisipasi orangtua siswa dan masyarakat serta
pemerintah kabupaten/kota masing-masing, di samping kepentingan nasional
seperti proyek khusus dan pengendalian mutu dari Depdiknas dan dari Dinas
Propinsi.
4.
Pengembangan Kapasitas Pendidikan
Kapasitas adalah kemampuan individu dan organisasi atau unit organisasi
untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, dan
berkelanjutan. Suksesnya desentralisasi pendidikan sangat ditentukan oleh
tingkat kesiapan kapasitas makro, kelembagaan, sumber daya dan kemitraan.
Pengembangan kapasitas tingkat makro meliputi (1) arahan-arahan, (2) bimbingan,
dan (3) pengaturan, pengawasan dan kontrol.
Pengembangan kapasitas kelembagaan mencakup kemampuan dalam merumuskan
visi, misi, tujuan, kebijakan, dan strategi, perencanaan pendidikan, manajemen
pada semua aspek substansi pendidikan, sistem informasi manajemen, pengembangan
pengaturan (regulasi dan legislasi) pendidikan, pengembangan sumber daya
manusia, pengembangan organisasi (tugas dan fungsi serta struktur
organisasinya), proses pengambilan keputusan dalam organisasi, prosedur dan
mekanisme kerja, hubungan dan jaringan antarorganisasi, dan pengembangan dewan
pendidikan dan komite sekolah, pengembangan kepemimpinan pendidikan.
Kesiapan kapasitas sumber daya mencakup sumber daya manusia
(manajer/pemimpin, staf, dan pelaksana) dan sumber daya selebihnya (dana,
peralatan, perlengkapan, dan bahan). Sedangkan pengembangan kapasitas kemitraan
dilandasi oleh kesadaran bahwa pengembangan ikhtiar pendidikan harus dilakukan
secara terpadu antara lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat karena
masing-masing memiliki pengaruh terhadap pendidikan peserta didik.
5.
Permasalahan yang Dihadapi Desentralisasi Pendidikan
Desentralisasi pendidikan dalam arti melimpahkan kewenangan penyelenggaraan
ke daerah merupakan suatu bentuk perubahan kewenangan. Perubahan tersebut membawa konsekuensi timbulnya berbagai permasalahan yang
perlu dicermati dan diantisipasi dengan berbagai upaya pencegahannya agar
proses desentralisasi dapat berjalan dengan semestinya. Burhanuddin (2004:14)
menyatakan permasalahan tersebut mencakup 1) berhubungan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), 2) masalah yang terkait dengan substansi
manajemen pendidikan, 3) sumber daya manusia, 4) dana dan sarana prasarana
pendidikan, 5) partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, 6)
partisipasi peserta didik, 7) berhubungan dengan peraturan perundang-undangan,
dan 8) berkaitan dengan konsekuensi disintegrasi keutuhan berbangsa dan
bernegara.
Berhubungan iptek yang diadopsi dari luar negeri sebagai dampak globalisasi
akan menimbulkan pergeseran struktural, nilai, dan sikap ilmuah masyarakat.
Struktur masyarakat pertanian bergeser menuju ke struktur masyarakat industri
yang mempengaruhi pola kehidupan dan tuntunan masyarakat terhadap dunia
pendidikan. Perkembangan iptek menuntut adanya tenaga yang bukan saja mampu
mengadopsi iptek dari luar, melainkan mampu mengadaptasikan dan
mengembangkannya. Taraf pendidikan masyarakat dituntut lebih tinggi agar mampu
mengantisipasi perubahan dan profesional dalam melaksanakan tugasnya.
Masalah yang terkait dengan substansi manajemen pendidikan terletak pada
kesiapan dan kemapanan masing-masing daerah dalam menyambut
pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan yang tidak sama. Permasalahan
relevansi pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan pemerintah
kepada daerah untuk menata sistem pendidikan yang sesuai dengan kondisi
objektif di daerah masing-masing. Situasi ini memicu terciptanya pengangguran
lulusan akibat tidak relevannya kurikulum dengan kondisi daerah. Untuk itu
otonomi kurikulum menjadi alternatif yang harus dilakukan. Rintisan kurikulum
muatan lokal yang selama ini memiliki perimbangan persentase lebih kecil
daripada kurikulum nasional belum cukup mewadahi situasi, kondisi, dan
kebutuhan daerah.
Sumber daya manusia (SDM) yang kurang profesional menghambat pelaksanaan
sistem pendidikan nasional. Penataan SDM yang tidak sesuai dengan latar
belakang pendidikan menjadikan pelaksanaan pendidikan tidak profesional. Banyak
tenaga kependidikan yang latar belakang pendidikannya tidak relevan di dunia
kerja yang ditekuninya.
Dana dan sarana prasarana pendidikan merupakan permasalahan yang dapat
muncul dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Dana masyarakat yang digunakan untuk membiayai pendidikan belum semaksimal
mungkin beralokasi secara proporsional sesuai dengan kemampuan daerah.
Terserapnya dana masyarakat ke pusat membuat daerah makin menjadi tidak berdaya
membiayai penyelenggaraan pendidikan. Sarana dan prasarana pendidikan sangat
bergantung pada pengadaannya kepada pemerintah pusat sementara
pendistribusiannya belum terjamin merata atau sampai ke tujuannya sehingga
kemandirian dan rasa turut bertanggung jawab daerah kurang.
Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sangat kurang
kecuali dalam hal pendanaan. Masyarakat hanya menyerahkan peserta didik ke
lembaga pendidikan dengan membayar dana pendidikan dan menyerahkan pendidikan
peserta didik kepada lembaga. Peran masyarakat dalam mendidik menjadi kurang
karena mengandalkan lembaga pendidikan. Perlu adanya komunikasi efektif antara
lembaga pendidikan dan orangtua untuk mendidik peserta didik agar mencapai
tujuan pendidikan yang dicita-citakan bersama.
Berkaitan dengan partisipasi peserta didik dipengaruhi oleh kesiapan dan
motivasi keluarga terutama yang berlata belakang pendidikan, sosial, dan
ekonominya tergolong rendah. Tingkat partisipasi peserta didik mengikuti
program pendidikan terutama pendidikan dasar dipengaruhi oleh faktor tersebut.
Berkaitan dengan peraturan perundang-undangan dalam pendidikan,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menentukan secara umum
tentang hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah, pengelolaan
pendidikan, dewan pendidikan, dan komisi sekolah. Sistem sentralisasi,
dekonsentrasi, dan desentralisasi dalam pemerintahan mempunyai implikasi
langsung terhadap penyelenggaraan sisdiknas terutama yang berkaitan dengan
masalah kebijakan, manajemen, mutu, kontrol, dan sumber-sumber dana pendidikan. Penyelenggaraan sisdiknas untuk masa mendatang selain telah memiliki
perangkat pendukung perundang-undangan nasional, tetapi juga dihadapkan kepada
sejumlah faktor yang menjadi tantangan dalam penerapan otonomi pendidikan di
daerah, tipe dan kualitas kematangan sumber daya manusia yang diperlukan oleh
daerah setempat, perkembangan iptek, perkembangan dunia industri, dan tingkat
perkembangan setiap daerah. Hal ini mengisyaratkan perlunya pemikiran dan
kajian yang lebih matang dalam menyiapkan situasi lokal dan sekolah agar
desentralisasi penyelenggaraan sisdiknas dapat dilaksanakan.
Penyelenggaraan desentralisasi pendidikan berkaitan dengan konsekuensi
disintegrasi keutuhan berbangsa dan bernegara. Hal ini ditegaskan oleh Fiske
(1996) yang menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman berbagai negara sedang
berkembang yang menerapkan otonomi di bidang pendidikan, otonomi berpotensi
memunculkan masalah perbenturan kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah,
menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam pengelolaan pendidikan,
ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak dan ruang
partisipasi masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya tuntutan
akuntabilitas pendidikan oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas
pendidikan oleh masyarakat.
Pendidikan merupakan upaya sosialisasi generasi muda yang diharapkan
terbentuk dan menjadi warga negara yang berwawasan kebangsaan (Pancasila).
Apabila konten kurikulum atau pengalaman belajar bervariasi dimungkinkan tumbuh
dan berkembangnya visi peserta didik yang berbeda-beda dan bahkan bertentangan,
yang dapat menumbuhkan persepsi dan sikap separatisme. Asumsi tersebut perlu
adanya sikap dan usaha pencegahan agar tidak terjadi ketimpangan dalam
pelaksanaan desentralisasi. Dengan adanya pertukaran pelajar antardaerah
diharapkan dapat menyeimbangkan ketimpangan yang ada.
6.
Penutup
Pemerintah menyelenggarakan sistem politik pendidikan secara demokratis dan
berkeadilan. Pendidikan yang demokratis berpandangan bahwa fungsi pendidikan
digunakan untuk semua masyarakat, mengakui persamaan hak warga negara dalam
memperoleh pendidikan. Paradigma baru pendidikan akan berimplikasi pada
pengembangan pendidikan daerah (sekolah). Era otonomi daerah sistem
pengembangan pendidikan sekolah adalah bagian integral dari sistem perencanaan
dan pembangunan daerah kabupaten/kota, yaitu mendasarkan pada perencanaan
partisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika,
prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat
Pelaksanaan program pembangunan nasional dalam bidang pendidikan di daerah
akan semakin lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat apabila konsep dan
praktik otonomi benar-benar diterapkan secara objektif dan sistematis, dengan
memperhitungkan faktor-faktor pendorong maupun kendala yang dihadapi
daerah. Untuk dapat melaksanakan otonomi daerah penyelenggaraan pendidikan
secara berhasil di daerah, memerlukan kesiapan dari seluruh unsur yang ada.
Persiapan ini memerlukan waktu dan analisis mendalam atas perbedaan kualitas
daerah. Kebijakan tentang otonomi daerah diperlukan penahapan dan penelitian
agar tidak terjadi ketimpangan.
0 comments:
Post a Comment